Total Tayangan Halaman

Sabtu, 30 April 2011

Diam itu emas ehmm ^^


Sebuah pepatah bahasa Arab menyebutkan: ‘Ucapan itu dapat menembus apa yang tidak dapat ditembus oleh jarum’.
Ungkapan di atas seakan menegaskan tentang betapa pentingnya seseorang menjaga lisannya. Ya, menjaga lisan, atau menjaga ucapan merupakan salah satu hal terpenting dalam hidup ini. Karena membiarkan lisan kita untuk mengucapkan apa pun yang ada di benak kita tanpa pikir panjang, hanya akan berdampak buruk bagi diri kita.
Betapa banyak orang yang begitu menyesal setelah dia mengucapkan sesuatu yang ternyata berdampak buruk bagi dirinya di kemudian hari. Betapa banyak pula orang berurusan dengan hukum gara-gara ucapannya dianggap melecehkan, mendiskriditkan dan menyakiti orang lain.
Begitu pentingnya sebuah ucapan, sehingga Rasulullah SAW menjadikannya sebagai pra-syarat keimanan seseorang. Beliau menegaskan dalam salah satu sabdanya, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam…” (HR. Bukhari-Muslim)
Perkataan yang baik, akan menyamankan, menentramkan, mendamaikan, sekaligus membahagiakan orang yang mendengarnya. Orang yang selalu berkata baik apalagi sopan, akan mendapat tempat di hati orang lain. Orang akan menghargai dan terkesan dengan ucapannya.
nhaaaa..tooo gatekke kui ;-)
Sebaliknya, seseorang yang terbiasa mengucapkan kata-kata yang buruk, kasar bahkan seringkali menyakitkan, dengan kata lain tidak bisa menjaga lisannya, bisa dipastikan bahwa dia akan dijauhi orang, tidak akan pernah mendapat tempat di hati orang lain, dan pada gilirannya dia akan menanggung akibat dari apa yang diucapkannya.
horotoyo.....ngandel ra??? 
Mulutmu harimaumu, demikian sebuah petuah bijak menyebutkan. Jika mulut tidak dijaga dengan baik, maka tidak menutup kemungkinan akan menjadi sumber malapetaka. Ibarat harimau, jika tidak dijinakkan dia akan menerkam apa pun yang ada di sekelilingnya. Maka, berhati-hatilah dengan mulut. Berhati-hatilah dengan lisan dan ucapan kita. Ia bisa menjadi sahabat yang akan membawa kita pada posisi terhormat di mata manusia dan di hadapan Allah. Di sisi lain, ia juga bisa menjadi musuh yang akan menjerumuskan kita ke jurang kesengsaraan.
Ayoo kita saling mengingatkan dalam kebaikan,manusia itu tempatnya salah,tempatnya kekhilafan yang adang kita tidak menyadari atau keceplosan ........ups ehhhh keceplosan,alamak ngeri kali...
Hayoo daripada banyak bicara hanya bikin dosa,kita sedikit bicara dengan banyak membaca buku,yang syarat dengan ilmu agama dan ilmu pengetahuan....heheh nggaya koe ko eko....ups


Sabtu, 23 April 2011

AGISSheank: WEBSITE REVIEW

AGISSheank: WEBSITE REVIEW: "URL : http://www.eslgold.com/speaking.html This website provides us with English Learning Materials . Here, we can select the menu re..."

Kekeliruan para Penceramah




(Ibnu al-Jauzy, Shaid al-Khâthir; Nasihat Bijak Penyegar Iman)
Aku merenungkan secara saksama beberapa perbuatan yang biasa dilakukan di majelis-majelis taklim yang dianggap oleh orang awam dan ulama yang tak berilmu sebagai amalan yang mendekatkan kepada Allah. Padahal, ia sebenarnya adalah kemungkaran dan amalan yang menjauhkan dari-Nya.
Salah satu contohnya adalah seorang qari’ membaca Al-Qur`an dengan dilagukan, dan seorang penceramah mendendangkan bait-bait syair Majnun dan Laila, kemudian ia disambut oleh Si A dengan tepukan tangan, dan direspons oleh Si B dengan menyobek-nyobek pakaiannya sambil meyakininya sebagai amalan yang mendekatkan.
Kita semua maklum bahwa lagu-lagu yang dibawakan ketika membaca Al-Qur`an dan bait-bait syair yang didendangkan oleh orang sama persis dengan alunan musik yang menimbulkan kegembiraan di jiwa. Namun, mengerjakan sesuatu yang bisa menimbulkan kerusakan adalah sebuah kesalahan besar, dan kita wajib menasihati para penceramah yang melakukan hal-hal seperti itu.
Demikian pula juru-juru kunci kuburan yang berdaya upaya membangkitkan kesedihan kaum wanita secara berlebihan agar mereka memperoleh upah atas perbuatannya itu. Kalau saja mereka menyuruh kaum wanita tersebut bersabar, tentu mereka tak akan menangis berlebihan seperti itu.
Tindakan-tindakan yang telah kusebutkan di atas bertentangan dengan agama.
Ibnu Uqail menuturkan: Kami bertakziah ke rumah seseorang yang ditinggal mati anaknya, lalu seorang qari membaca ayat, “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf” (Q.s. Yusuf [12]: 84), maka saya langsung mengatakan, “Ini adalah ratapan dengan Al-Qur`an.”
Sebagian penceramah malah ada yang membahas masalah makrifatullah dan mahabbatullah (cinta kepada Allah), hingga seorang tukang tenun dan seorang kuli pasar yang tak tahu rukun shalat pun merobek-robek pakaiannya. Mereka mengaku mencintai Allah Ta’âlâ, sedang orang yang paling saleh di antara mereka mengkhayalkan sebuah sosok yang dianggapnya sebagai Tuhan, lantas ia menangis karena rindu kepada-Nya, sesudah ia mendengar keagungan-Nya, rahmat-Nya dan keindahan-Nya. Padahal, sesuatu yang ia khayalkan bukanlah Tuhan, karena Tuhan tidak mungkin ada dalam khayalan.
Membahas sesuatu secara mendetail bersama orang awam adalah sesuatu yang tidak mudah dan sesuatu yang pelik adalah sesuatu yang paling sulit mereka cerna.Karena itu, seorang penceramah dilarang membahas sesuatu yang “tidak biasa” sehingga bisa merusak mereka. Seorang penceramah disarankan mengajak mereka mengerjakan segala sesuatu yang bermanfaat buat mereka dengan cara yang paling halus.
Hal ini memang memerlukan keahlian, karena orang awam terdiri dari beragam orang. Ada yang tertarik pada kata-kata yang indah, ada yang tertawan oleh kata-kata yang ringkas, dan ada pula yang baru mau insaf bila mendengar sebuah bait syair. Orang yang paling memerlukan ilmu menghadapi khalayak adalah para penceramah.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan setiap jenis orang, seorang penceramah seyogianya membatasi diri hanya pada apa-apa yang ingin disampaikan kepada orang awam dan menyampaikan kata-kata yang baik sekadarnya saja—sebagaimana kadar garam pada makanan. Penceramah perlu mengajak mereka mengerjakan amalan-amalan yang jelas serta memperkenalkan mereka pada jalan yang benar.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah menghadiri sebuah majelis dan mendengarkan perkataan Harits al-Muhasibi, maka ia langsung menangis, lantas ia mengatakan, “Saya sebenarnya tidak suka datang kemari.” Ia menangis karena kondisi kejiwaannya memang mengharuskannya menangis.
Sekelompok ulama salaf menganggap baik hadir ke majelis para penceramah, tapi kemudian mereka melarangnya.
Namun, larangan seperti ini tak bisa kita berlakukan begitu saja pada zaman sekarang. Karena, masyarakat pada waktu itu punya minat yang besar pada ilmu, sehingga ulama-ulama tersebut menganggap hadir ke majelis para penceramah adalah sebuah tindakan yang menghalangi mereka datang ke majelis-majelis ilmu.
Tapi sekarang, keberpalingan dari ilmu adalah sesuatu yang mewabah. Maka sesuatu yang paling bermanfaat buat orang awam adalah majelis para penceramah yang bisa menghentikannya dari dosa dan menggerakkannya untuk bertobat. Bagaimanapun juga, cacat yang sebenarnya ada pada penceramah, karena itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla

**sumber copas hmm ...